Minggu, 09 Januari 2011

Aurora Hati

Kenapa semua seakan memojokkanku? Menyimpanku dalam alur cerita yang tak ku ingin, melemparku dari satu puing masalah ke puing yang lain.
Apakah aku terlalu naif? seringnya hati limbung dalam keseharian,tak tegak dalam istiqomah.
Aku lelah, ingin berhenti berlari atau berjalan sekalipun. Dalam lingkaran waktu aku seperti dipermainkan,diguncang-guncang badai tropika.
Kenapa mereka tak pernah mengerti aku? Atau aku yang terlalu egois memandang semua laku?
Aku benci mereka, tapi lebih benci diriku sendiri.
Kutatap butir-butir air langit, seakan sang air mau menengokku dan memadamkan api amarahku.
Aku luruh dalam masalahku, terikat kuat dalam konflik keluarga yang entah darimana asalnya. Aku lelah, ingin sejenak tak memikirkannya ataupun mengingatnya.Tapi apa daya, pikirku tak jua mau mengalah pada hatiku yang kalah.
Akh sudah pantaskah aku menyandang gelar kalah? Perpecahan ini bukan salahku tapi ketidakmampuanku melerainya menjadi tombak kesalahanku. Dan aku terpojok,terdorong kekursi terdakwa. Jadi pesakitan karena ketidakmampuanku.
Manusia sempurnakah aku? Malaikatkah aku yang tak luput dari dosa dan salah? Tak adakah ruang maaf atas kebodohanku sebagai manusia? Sepicik itukah pikiran mereka?
Aku ingin menangis bersama langit tapi butiran kristal itu tak kunjung keluar dari bola mataku. Sudah terlalu lelahkah mata ini menangis? Tak letih mata ini menatap, meratap tapi mereka tak juga mengerti. Aku bukan mereka dengan sejuta kelebihan yang dianugerahkan Tuhan, kenapa tidak mereka saja yang menyelamatkan reruntuhan keluargaku, bukan aku yang hanya bocah belasan tahun.
Pandangan mereka selalu begitu, menusukku dengan kilauannya. Tahukah mereka aku lelah? Aku letih? Pedulikah mereka pada aku sang yatim dalam pelukan luka?
Kuhela nafas berulangkali, mengamati butir-butir air hujan yang mengguyur.
Aku ingin hilang seperti debu yang hilang dihapus hujan.Aku tak ingin menengok wajah-wajah mereka yang menatapku kini.Dalam sakitku aku tak peduli lagi seberapa banyak lontaran benci yang tertuju padaku. Saat hari itu terjadi, maka pada saat itu kebahagiaan yang tinggal serpihannya terenggut dariku. Tanpa sisa tak meninggalkan senyum satupun. Mereka terus memandangku seperti terdakwa dalam kasus pidana. Seberat itukah salahku?
Aku tak ingin mendengar apapun lagi, terlalu muak dengan apa yang aku dengar. Terlalu benci dengan kenyataan yang ada, bahwa aku hanya terkalah dalam episode hidupku
Hujan tak juga reda, air-air langit seolah tumpah semua.Kutatap nanar orang-orang yang terus berjalan menembus hujan. Semangat hidup mereka memang untuk sesaat memukau diriku, tapi suara-suara dibelakangku terdengar lagi dan aku amblas kembali dalam lukaku.
Adakah caraku yang bisa membuat orangtuaku kembali? Saudara-saudraku berada disisiku lagi? Aku tahu meratappun tak ada guna,tak bisa menghentikan jalan waktu yang terus berlari menggilasku.
Ayah, aku merindukan kearifan dirimu. Merindukan tatapan sayu yang hanya kau miliki, bola matamu tak pernah mnyiratkan keputusasaan penuh dengan semangat hidup
Ibu, aku rindu belaian tanganmu, saat dengan lembut kau hapus air mataku. Saat garang dimatamu muncul karena aku diganggu berandalan disekolah.Ibu aku rindu engkau...
"Dea..berhentilah bersikap seperti itu.Kamu bukan anak kecil lagi.Berhentilah menatap hujan.Kamu harus melakukan sesuatu bukan terus menerus seperti itu," tegur paman Aris
Kutatap wajahnya,paman apa yang bisa dilakukan gadis cacat sepertiku?
Kecelakaan itu merenggut segalanya,juga semangat hidupku.Apa ini memang salahku Tuhan?? Apa karena keegosianku semua musnah? Tak adakah kesempatan kedua?
"Sudahlah Aris dari dulu dia memang seperti itu,"ujar Tante Bella.
"Dia memang anak pembawa sial, percuma meminta dia menggantikan ayahnya,"tukas paman Indra menusuk langsung luka hatiku.
"Tapi,,"
"Tidak ada tapi, gadis cacat seperi dia takkan bisa seperti ayahnya juga saudara lainnya. Kehadiran dia diperusahaan keluarga hanya akan membawa kesialan bagi perusahaan," potong paman Indra.
Kristal airmataku sudah kering, sudah berulangkali aku mendengarnya. Bahwa aku hanya pembawa sial bagi keluarga besarku. Ayah, benarkah itu???

Tidak ada komentar: